Pendahuluan.
1. Keinginan manusia untuk terbang mengarungi angkasa seperti burung yang bebas, telah Ada sejak purbakala. Dan disuatu hari seorang Ilmuwan bernama Leonardo Davinci merancang beberapa sketsa yang memperlihatkan kendaraan terbang. Dalam sketsa tersebut telah terlihat adanya bentuk sayap dan tongkat-tongkat kemudi, dimana seorang pengemudi dapat mengontrol gerakan-gerakan diudara. Baru kemudian pada tahun 1903 "ORVILLE WRIGHT" berhasil mengudara dengan pesawat yang lebih berat dari udara dengan nama KITTY HAWK FLYER. Penemuan wright bersaudara ini, telah membuka Era dunia penerbangan, keberhasilannya tersebut mendorong para pionir kedirgantaraan untuk berkarya lebih Ianjut, sehingga manusia berpikir bahwa dimasa depan dunia akan dapat dikendalikan me¬lalui udara. Hal ini bisa dimaklumi karena sesuai dengan sifat alami media udara selaku matra dasar merupakan ruang gerak serta penghantar yang relatif tidak mempunyai hambatan seperti halnya media darat maupun laut.
2. Pada Era aeronautik lebih lanjut, baik pada PD I dan terutama PD II, telah terbukti bahwa pesawat ter¬bang dengan kemampuan persenjataan dan amunisi serta dengan daya penghancur yang maha dahsyat, telah berhasil mengakhiri peperang¬an yang berkepanjangan tersebut. Pada era perang dingin dimana dua negara raksasa yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet saling berlomba meningkatkan kekuatan persenjataannya, maka hal tersebut tidak terlepas dari kekuatan angkatan udara-nya. Dimana pada era tersebut banyak dikembangkan pesawat-pesawat tempur yang mempunyai kemampuan canggih. Di era perang modern sekarang ini, faktor deterence power memainkan peranan yang sangat penting, dimana detererence power dapat menimbulkan faktor psykologis bagi lawan melanjutkan niat untuk berperang ataupun calon lawan untuk menyatakan perang.
3. Perkembangan kekuatan Angkatan Udara ASEAN tentunya sangat berpengaruh pada faktor keamanan di kawasan Asia Tenggara serta menimbulkan kesenjangan yang jauh, memang kekuatan Angkatan Udara Indonesia saat ini masih dapat dikatagorikan pada level menengah di antara negara-negara di ASEAN. Dikaitkan dengan masalah tersebut diatas, maka TNI-AU seba¬gai kekuatan Hankam Negara di udara yang mempunyai Tugas Pokok menjaga dan mempertahankan ruang udara di atas wilayah Negara RI dari segala macam gangguan dan ancaman baik yang datang dari luar maupun dari dalam, dimana terkandung juga kepentingan nasional Indonesia dalam aspek pertahanan. Jelas membutuhkan sarana dan prasarana dalam melak¬sanakan tugas tersebut terutama Alutsista yang modern, ampuh dan handal.
Analisis.
4. Eksibisi kedigdayaan Amerika? Hal yang sangat menarik untuk disimak adalah bahwa setelah terjadi Perang Teluk tahun 1990-1991, yang kebetulan bersamaan dengan berakhirnya secara resmi era Perang Dingin di daratan Eropa (dengan Piagam Paris 1990) justru statistik pembelian persenjataan negara-negara Asia Tenggara dari Amerika antara 1992-1994 malah menunjukkan angka-angka yang berfluktuasi secara drastis. Bahkan di tahun 1994 baik Malaysia maupun Singapura mencapai rekor tertinggi pembelian persenjataan dari Amerika, dan itu belum termasuk angka-angka statistik pembelian persenjataan dari negara Eropa yang lain. Thailand mencapai rekor tertinggi di tahun 1992, Indonesia dan Filipina di tahun 1993 (AC Mahendra K Datu MA, pemerhati masalah-masalah ekonomi, politik, dan pembangunan kawasan Asia Tenggara, tinggal di Yogyakarta). Perlu dicatat pula bahwa pada tahun 1992 ASEAN Regional Forum (ARF) mulai diperkenalkan sebagai salah satu fungsi dalam mekanisme kerja ASEAN untuk meningkatkan kerja sama dan dialog mengenai masalah-masalah keamanan regional, terutama dengan semua partner dialog ASEAN (misal: Amerika, Uni-Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru, Rusia, dan Cina serta beberapa negara di kawasan Pasifik yang lain). Memang tampaknya tidak ada korelasi langsung antara kenaikan anggaran hankam negara-negara ASEAN dengan terbentuknya ARF. Yang bisa dikaitkan adalah keragu-raguan pada sistem apakah gerangan yang akan muncul setelah jatuhnya Uni Soviet yang pada waktu itu masih membingungkan banyak pihak, tak terkecuali Indonesia dan ASEAN. Sistem unipolarkah? Atau multipolar? Sementara itu kebangkitan ekonomi Cina telah membuat banyak pihak khawatir akan efek susulannya, yakni berupa kebangkitan militer Cina yang sangat potensial bisa mengancam stabilitas kawasan. Jepang yang sudah sekian lama pasif berpolitik, kini mulai menuntut peran politik yang lebih besar di panggung internasional, yang dalam bahasa strategi, tak lain dan tak bukan adalah tanda-tanda bangkitnya pengaruh militerisme Jepang masa lalu dalam bentuk yang lebih dramatis. Bila memang benar demikian kecenderungannya, maka multipolaritas kekuatan dunia sedang terjadi. Serba-ketidakpastian inilah yang ikut mendorong beberapa negara di kawasan Asia Tenggara semakin memperkuat pertahanan-keamanannya. Setidaknya pada saat ini kasus pecahnya perang saudara di Kamboja saja sudah menambahkan kontribusi rasa kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara di sekitarnya. Tetapi bisakah alasan ini diterima begitu saja. Perlukah Asia Tenggara dipersenjatai secara total dan masif?
5. Perlukah kekuatan militer yang besar? Di lingkungan ASEAN sendiri Indonesia bersama dengan Filipina dan Vietnam memang benar berada pada posisi grup juru kunci dalam soal besarnya jumlah anggaran militer, terutama sekali bila kita melihat sisi geografis dan geopolitis negeri ini. Dengan posisinya yang tepat berada di persilangan antara dunia Barat dan dunia Timur, dunia modern dan dunia kurang modern, serta tepat membelah wilayah pengaruh dua kutub politik besar masa perang dingin antara dunia kapitalis-liberal dan sosialis- komunis, tak pelak negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini memang harus benar-benar memperhatikan urusan pertahanan-keamanan terhadap ancaman-ancaman yang tidak melulu datang dari luar, tetapi bahkan sangat potensial datang dari dalam kawasan itu sendiri, seperti upaya-upaya separatis yang membahayakan integritas salah satu negara Asia Tenggara. Sedangkan ancaman dari luar untuk saat ini justru berupa imbas-imbas kecil dari berakhirnya Perang Dingin, misalnya seperti terpecahnya sistem keamanan global dengan struktur bipolar.
6. Perbandingan Anggaran Pertahanan dengan PDB? Beberapa masa terakhir ini sejumlah media cetak dan elektronik memberitakan pernyataan beberapa pejabat militer bahwa anggaran pertahanan- keamanan Indonesia tergolong di antara "yang terkecil" di kawasan Asia Tenggara. Selama lima tahun terakhir, anggaran pertahanan Indonesia paling rendah di antara negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Sejak tahun 2000, alokasi anggaran pertahanan rata-rata per tahun masih di bawah satu persen Produk Domestik Bruto (PDB), dan itu di bawah negara-negara Asia Tenggara yang memiliki anggaran pertahanan di atas dua persen PDB, alokasi anggaran di bawah satu persen PDB akan menyulitkan pembangunan kekuatan pertahanan yang memadai. Bahkan untuk membangun kekuatan minimal sekalipun. Selama lima tahun terakhir, anggaran pertahanan mencapai Rp. 14,27 triliun per tahun. Angka itu kira-kira 0,88 persen PDB rata-rata per tahun atau kira-kira 4,29 persen Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) rata-rata per tahun. Tapi tampaknya, perubahan mulai dilakukan. Karena, dalam Rencana APBN 2005, Dephan mengajukan rencana anggaran belanja pertahanan sebesar Rp. 45,028 triliun, yang kemudian terealisasi sebesar Rp. 21,997 triliun. Dibandingkan tahun sebelumnya, anggaran pertahanan naik 2,59 persen (TEMPO Interaktif, Kamis, 07 Oktober 2004 | 22:08 WIB Jakarta). Menurut K.A. Badaruddin, Kasubdit Pembinaan Anggaran Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, ideal alokasi anggaran pertahanan 2005-2006 adalah dua persen dari PDB. Artinya, sekitar 11 persen dari APBN atau bernilai Rp. 51,17 triliun. "Saya berharap, tiga sampai 15 tahun ke depan, anggaran pertahanan meningkat menjadi 3,86 persen dari PDB, atau Rp. 98,77 triliun," kata Badaruddin.
Berikut adalah perbandingan persentase anggaran pertahanan masing-masing negara di Asia Tenggara dan sekitarnya, terhadap PDB dan APBN:
Australia : 2,3 dan 7,13
Brunei : 6,9 dan 17,96
Filipina : 2,2 dan 19,88
Malaysia : 4 dan 9,08
Thailand : 2,8 dan 15,04
Singapura : 5,2 dan 20,97
Indonesia : 1,07 dan 5,72
Banyak suara yang mulai beredar seolah-olah akan ada semacam rencana peningkatan anggaran Hankam di masa mendatang dalam perubahan jumlah yang cukup drastis. Sementara itu, beberapa sumber di kalangan militer mengungkapkan (seperti telah pula diberitakan di beberapa media cetak) sudah saatnya peralatan, persenjataan dan perlengkapan armada TNI diperbarui melalui pembelian persenjataan atau pun alat-alat logistik baru, yang lebih modern dan lebih bisa diandalkan untuk mengakomodasi keperluan-keperluan masa kini. Ini hanyalah contoh sederhana saja atas kepedulian akan pentingnya unsur hankam dalam sebuah negara. Sedemikian pentingnya urusan hankam itu, sampai-sampai dalam sejarah umat manusia hampir semua negara pernah terlibat dalam perlombaan persenjataan; tak terkecuali negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk kalau boleh disebut negeri tercinta ini, Indonesia.
7. Kerja sama ekonomi lebih urgen. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara (selanjutnya kita sebut saja negara-negara ASEAN) sebenarnya sudah memiliki arah dan visi yang jelas dalam menghadapi setiap perubahan situasi keamanan global. Dalam piagam pembentukan ASEAN, isu-isu keamanan regional memang disinggung, tetapi bukan menjadi bagian utama dan terpenting. Sebaliknya, upaya-upaya ASEAN dalam memelihara keamanan regional secara kolektif adalah melalui pemeliharaan stabilitas kawasan dan perdamaian yang di sinilah letak bagian utamanya bisa mendukung pembangunan setiap negara anggotanya. Dengan kata lain, urusan-urusan ekonomi lebih dipentingkan tanpa bermaksud mengurangi arti penting hankam di kawasan ini. Dengan meningkatkan anggaran pertahanan secara drastis dan diikuti dengan peningkatan kekuatan armada tempur, seperti yang dilakukan Malaysia misalnya, hanya akan mengusik negara-negara tetangga lain yang terlibat masalah kedaulatan atas kepulauan Spratly (misal: Vietnam, Filipina, Brunei, Cina, dan Taiwan). Umumnya bila itu terjadi secara gradual dan terus menerus, hal yang sama akan ditiru oleh negara-negara lain di kawasan itu. Sebagai akibatnya, kontes penggandaan senjata regional tak dapat dielakkan, persis dengan yang terjadi di Eropa Barat-Timur, serta serupa sekali dengan praktek-praktek propaganda regional superpower di Timur Tengah antara Irak, Iran, Mesir, Arab Saudi, Israel dan Turki. Bila sudah demikian, bagaimana mungkin cita-cita membangun stabilitas dan perdamaian kawasan bisa terwujud? Menlu Ali Alatas yang berkesempatan menjadi pembicara dalam suatu seminar di Singapura tahun 1992 bahkan menegaskan kembali bahwa para pemimpin ASEAN telah sepakat untuk memakai pemahaman konsep regional security secara lebih komprehensif, dan bukannya melulu mengacu pada military security akan tetapi jauh mencakupi aspek keamanan sosial, ekonomi dan juga keamanan politik. Ancaman-ancaman masa kini bagi negara-negara ASEAN justru datang dari ancaman non-militer, seperti angka pengangguran yang membengkak, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan, menipisnya persediaan sumber alam, degradasi kualitas lingkungan serta kasus-kasus pelintas-batas ilegal di kawasan ASEAN. Ketidakmampuan negara-negara dalam menangani permasalahan ini hanya akan menimbulkan keadaan sosial dan politik dengan komitmen negara-negara Asia Tenggara sendiri untuk tetap memperjuangkan keamanan sosial, politik dan ekonomi kawasan itu.
Penutup.
8. Saya kira, dengan mengecilnya "ukuran" dunia, konsep hankam haruslah diredefiniskan agar kita semua bisa mengetahui apa yang sebenarnya sedang kita perlukan. Penulis sangat setuju apabila konsep mengenai pertahanan-keamanan kawasan dilihat dari teropong yang lebih luas dan fleksibel, sehingga dalam kondisi apa pun dan sampai kapan pun, negara-negara ASEAN akan tetap mampu secara bersama-sama meresponnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar anda di sini.